Ngejoki di Valorant: Faktor Utama Terhambatnya Regenerasi Pemain Esports di Indonesia

Popularitas game FPS PC Valorant di Indonesia cukup besar, meski di tengah dominasi game mobile. Valorant mampu berkembang menjadi skena esports yang stabil dan menjanjikan. Namun, regenerasi pemain baru masih menjadi masalah di berbagai turnamen lokal, dengan dominasi pemain lama yang mendominasi panggung kompetitif. Sebagai contoh, pada Indonesian Final Road to Asia Pacific Acer Predator League 2025, empat tim yang berpartisipasi sebagian besar diperkuat oleh pemain-pemain veteran. Minimnya regenerasi ini menyebabkan terbatasnya bakat baru yang masuk ke dunia pro dan bisa memengaruhi masa depan skena esports Valorant di Indonesia.

Beberapa pemain Valorant profesional berbagi pandangan tentang penyebab terbatasnya regenerasi ini. Dalam wawancara dengan Esports.ID, terungkap bahwa salah satu faktor adalah aktivitas “ngejoki” yang diminati banyak pemain berbakat.

Daffa dari tim LFM menyebut bahwa banyak pemain yang memilih ngejoki, yaitu memainkan akun orang lain dengan bayaran, ketimbang memasuki ranah kompetitif. “banyak yang lebih memilih menjadi joki. Kalau memang jago, seharusnya buktikan di pro scene, bukan jadi joki. Mungkin mereka merasa ngejoki lebih menguntungkan, tapi rasanya sayang potensi mereka dihabiskan begitu saja,” ungkap Daffa.

Ray4c dari Alter Ego juga mengomentari fenomena ini. Ia menjelaskan bahwa banyak yang tergoda menjadi joki karena bayaran yang besar, bahkan melebihi gaji pemain pro. “Banyak yang bilang ngejoki lebih menguntungkan secara finansial dibanding jadi pro player,” ujarnya. Meski demikian, Ray4c menyatakan bahwa ia tidak tertarik untuk ngejoki, walaupun pendapatannya mungkin lebih tinggi.

Pemain Bigetron Arctic, Frostmind, juga memberikan pendapatnya. Ia menyebut bahwa pemain yang tertarik jadi joki biasanya tergiur oleh pendapatan yang lebih cepat. “mencapai barisan di tim esport profesional sangat susah,dan cuma beberapa aja yang bisa mencapai nya. Banyak yang memilih jalur joki karena lebih menjanjikan secara finansial,” katanya. Frostmind sendiri menolak menjadi joki karena ingin diakui sebagai pemain Valorant terbaik melalui prestasinya di turnamen. Bagi Frostmind, karir profesional memiliki nilai yang lebih dari sekadar uang.

Fenomena joki bukan hal baru di dunia esports. Aktivitas serupa juga terjadi di game lain seperti DOTA 2, Mobile Legends, dan lainnya. Solusi untuk meningkatkan minat pemain baru dalam meniti karir sebagai pro player adalah memberikan dukungan yang lebih baik bagi mereka untuk memasuki panggung kompetitif dan menciptakan peluang pendapatan yang menarik. Jika komunitas dan tim esports dapat mendorong lebih banyak pemain berbakat untuk bergabung dan bertahan di dunia kompetitif, regenerasi talenta akan lebih terbuka dan berkelanjutan.